Senin, 12 Maret 2012

Padi Unggul Dewi Sri Agung


Saat ini kami sedang mengembangkan padi dengan sifat unggul, al ; Produktivitas tinggi yaitu 1 ha mencapai 10 ton, padi ditanam dengan sitem Organik, tidak disukai hama tikus. Pupuk juga menggunakan pupuk cai organik dengan 18 macam kandungan mineral (hasil uji lab dengan standart SNI).
Padi generasi pertama ini diberi nama SPDSA (Siliwangi Parikesit Dewi sri Agung) atau lebih dikenal dengan sebutan Sri Agung.

Penemuan varietas padi unggul SILIWANGI PARIKESIT DEWI SRI AGUNG (SP DSA) dan pupuk cair organik MARADEWI ini telah diketahui oleh masyarakat, dengan bukti sejak ditemukan sampai saat ini sudah di tanam di beberapa wilayah pulau Jawa mulai dari daerah Tulung agung, Cepu, Blora, Rembang, Yogyakarta, Karawang, Bekasi, Bogor (Jonggol, Cariu dan Jasinga), Indramayu, Kuningan, Purwakarta dan Cilangkap (Jakarta Timur) serta pulau Madura , Medan dan Lampung secara terorganisasi. Varietas padi ini pernah menghasilkan panen yang lebih baik di bandingkan padi lainnya dengan mencapai hasil 1,2 Ton/ha di Tulung agung dan rata-rata menghasilkan 1 Ton/ha (Cilangkap, Yogyakarta dan Cariu).

Padi “SRI AGUNG“ dapat ditanam di tanah darat sebagai padi gogo, ditanam di sawah tadah hujan, dan ditanam di sawah/air (pH tanah yang disenangi “ SRI AGUNG “ adalah 6,5 – 7). Usia panen “SRI AGUNG“ adalah 95 – 105 hari(tergantung ketinggian tanah dari permukan air laut), Tinggi batang padi ± 120 – 140 Cm (sampai ruas malai buah), Panjang malai padi rata-rata 25 – 35 Cm, bulir padi tiap malai rata-rata 400 – 650 bulir.

Selama ini penanaman padi menyesuaikan kearifan lokal masyarakat di daerah tersebut (adat dan budaya), namun secara teknis penanamannya menggunakan teknologi tepat guna hasil penelitian organisasi PAUS (mulai dari penyiapan lahan hingga pemanenan padi).

Beberapa upaya untuk mematenkan varietas padi unggul SILIWANGI PARIKESIT DEWI SRI AGUNG (SP DSA) dan pupuk cair organik MARADEWI telah dilakukan, antara lain dengan berkoordinasi dengan instansi terkait dalam hal ini Departemen Pertanian dan Mabes TNI yang awalnya diterima oleh Aster Panglima TNI pada bulan Pebruari 2011 kemudian diterima oleh Panglima TNI pada bulan Januari 2012. Upaya tersebut dilakukan agar penemuan varietas padi unggul SILIWANGI PARIKESIT DEWI SRI AGUNG (SP DSA) dan pupuk cair organik MARADEWI dapat dilindungi secara hukum (Hak Paten) baik oleh pemerintah maupun TNI.

Kegiatan penelitian dan pengembangan tidak berhenti sampai disini saja, masih ada beberapa varietas padi unggul dan pupuk/obat padi (organik) yang masih dalam proses penyempurnaan. Kegiatan ini dilakukan dengan memaksimalkan peralatan dan perlengkapan yang ada dengan cara tradisional (manual).

PAUS selama ini telah melakukan pengembangan varietas padi unggul SILIWANGI PARIKESIT DEWI SRI AGUNG (SP DSA) yang awalnya di temukan oleh Bapak Mardi pada tahun 2006 dan disempurnakan oleh putranya Serka Sucipto Anggota Satpamwal Denma Mabes TNI pada tahun 2007 dan pupuk cair organik MARADEWI (dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan berupa tanaman umbi-umbian dan rempah-rempah) yang ditemukan oleh Serka Sucipto beserta adiknya Ibu Dewi Dede Maryani pada tahun 2009.

PAUS (Penyayang Alam Umat Semesta) adalah Paguyuban yang didirikan oleh Anggota Denma Mabes TNI dan masyarakat yang bergerak di bidang Pertanian (penelitian dan pengembangan padi unggul dan pupuk organik). Tujuan organisasi ini untuk melestarikan alam semesta (penghijauan alam) serta makhluk hidup yang ada di dalamnya, serta berperan aktif dalam menjaga keseimbangan antara makhluk hidup dengan alam di sekitarnya sehingga terciptanya ekosistem yang baik. Awal berdirinya Organisasi ini bernama PUAS (Penyayang Umat Alam Semesta), dari hasil musyawarah yang telah disepakati pada akhir tahun 2011 organisasi ini berubah nama menjadi PAUS (Penyayang Alam Umat Semesta).

Rabu, 31 Desember 2008

Sejarah singkat Eyang Kakung (Continued III)

Keluarga Besar Mayoran

Dizaman Pendudukan Jepang

Diawali ketika pembangunan rumah di Mangkubumen Kulon Gang 5 Nomor 3 selesai, Keluarga Besar Mayoran mulai hidup baru di rumah sederhana yang di design sendiri oleh Almarhumah Moes (Ibu). Rumah baru itu terdiri dari Ruang Tamu, Ruang Keluarga, Ruang Makan, 4 Kamar Tidur besar, 2 Kamar Pembantu, Dapur , 2 Kamar mandi, 2 WC, 1 Kamar Mandi Pembantu, 1 WC Pembantu. Design rumah ini memang masih kental sekali dengan adat Jawa, misalnya ruang tamu yang dibeda-bedakan antara tamu-tamu orang tua terhormat, tamu anak-anak, tamu ibu-ibu kelas bawah, kamar mandi WC yang terletak jauh dari kamar tidur, dan lain sebagainya.

Sesuai dengan kondisi waktu itu dimana tidak ada “semen” di pasaran, rumah ini dibangun hanya 1 meter saja yang menggunakan dinding bata, sedang atasnya digunakan bambu yang telah direndam selama 3 bulan (untuk pengawetan) yang didatangkan dari desa “Kodokan” sekitar 15 Km sebelah Timur Kota. Bambu-bambu itu kemudian dibelah dipukul-pukul diratakan, dan dalam keadaan utuh itu kemudian dianyam. Sebelum dikapur terlebih dulu didempul dengan menggunakan kotoran sapi yang baru keluar dicampur dengan kapur hingga nyaris anyaman bambunya tidak kelihatan. Kebetulah dekat rumah ada yang pelihara sapi perah. Demikian pula waktu itu tidak ada kapur yang khusus untuk mengapur dinding. Yang ada hanyalah batu kapur yang sudah dibakar, dan sebelum dipakai cukup direndam dalam air. Kwasnyapun hanya menggunakan batang padi yang diikat, di pukul-pukul pada ujungnya untuk mengeluarkan seratnya.

Demikian sederhananya rumah Keluarga Besar Mayoran waktu itu, yang sangat kontras dengan rumah sebelumnya. Tetapi kami sekeluarga ternyata dapat menikmatinya berkat kami sekeluarga memang menerimanya dengan ikhlas dizaman perang itu. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu tahap demi tahap telah dilakukan rehabilitasi dan perbaikan-perbaikan, yaitu antara lain pengecatan pintu-pintu dan jendela, lantai, dinding bata yang semula hanya 1 meter dinaikkan, pembuatan kamar mandi dan WC didalam, dan lain-lain

Dijaman pendudukan Jepang itu tidak ada yang hidup tidak menderita. Maka dari itu Keluarga Besar Mayoran bahkan merasa bersyukur dapat hidup mandiri meskipun tidak ada masukan sesenpun. Ini berkat halaman rumah yang luasnya 1500 m2 banyak tanaman yang dapat menunjang kehidupan. Antara lain 25 batang pohon kelapa yang buahnya sangat mahal waktu itu, kemudian juga 5 batang pohon nangka, dan lain-lain. Disamping itu setiap jengkal tanah telah dimanfaatkan untuk menanam sayuran dari cabe, kacang panjang, bayam, pare belut, sawi dan lain-lain sampai palawija, seperti singkong, ubi jalar, jagung, dan juga berbagai jenis pisang. Tanah disekitar rumah memang sangat subur karena pada saat pembangunan tanah disekitar rumah digali untuk meninggikan bangunan rumah, dan galiannya kemudian diisi dengan sampah. Waktu itu tinggal minta ke DPU, Djawatan Pekerjaan Umum, dan gerobag demi gerobag berdatangan mengisi galian. Mana waktu itu belum ada sampah plastik hingga seluruhnya langsung menjadi kompos. Disamping itu halaman yang luas juga dimanfaatkan untuk berternak ayam yangsesekali bisa dipotong untuk menu makan istimewa, waktu itu. Kenangan yang mengesankan yaitu sehabis hujan mencari pohon singkong yang tumbang. Singkong itu kemudian dibuat berbagai makanan, antara lain blanggreng, yaitu digoreng setelah diberi bumbu, klenyem, singkong diparut dibuat bulat-bulat dan dalamnya diisi gula merah kemudian digoreng, jongko, singkong diparut dibungkus daun pisang dalamnya diisi gula merah kemudian dikukus, balung ketek , singkong dikupas dan dikukus, diiris-iris, dijemur kering, digoreng dan kemudian dilapis dengan gula putih.

Maklum waktu itu tidak ada tepung trigu jadi tidak ada roti, dan makanan seperti itu sudah terasa nikmat sekali. Kenangan seperti ini tentu tidak terbayangkan oleh para generasi diabad ke 20 yang sudah biasa makan roti, fried chicken, hamburger, spageti, pizza, hoka-hoka bento, dan lain sebagainya.

Kondisi social masyarakat waktu itu sangat statis, mendengarkan radio saja hanya dari pemancar local. Untuk itu semua radio disegel agar tidak dapat mendengarkan siaran radio lain, terutama berita dari luar negeri. Yang ketahuan pasti segera ditangkap oleh Kenpetai, dinas rahasia Jepang yang terkenal sangat kejam sekali. Itulah sebabnya ketika

Jepang kalah perang banyak masyarakat yang menyerbu Kenpetai untuk melampiaskan pembalasan dendamnya. Gedung Kenpetai yang terletak di jalan Purwosari, sekarang jalan Slamet Riyadi menjadi saksi bisu semua itu. Konon gedung itu menjadi sanget “angker” hingga dibiarkan begitu saja terbengkalai sampai bertahun-tahun. Kini dibekas gedung tersebut telah dibangun Hotel Cakra, dan konon ada salah satu kamar hotel yang masih tetap angker.

Dijaman Jepang ini anak-anak sekolah dikenalkan dengan senam pagi yang disebut dengan “taiso” yang dilakukan sebelum mulai belajar. Dan pernah pula kepada anak-anak diberikan sarapan pagi setelah senam, tetapi hal ini tidak berlangsung lama.

Demikianlah kehidupan Keluarga Besar Mayoran dijaman Jepang ini menjadi terbiasa oleh keadaan meskipun sangat kontras dengan kehidupan sebelumnya yang tidak pernah terbanyangkan sebelumnya. Bagaimana tidak, untuk makan sehari-hari disamping memanfaatkan hasil kebun sendiri, juga melakukan barter dengan menjual buah kelapa yang mahal harganya waktu itu untuk membeli beras, daging, dan kebutuhan makan lain.

Disinilah para putro sangat kagum kepada Almarhumah dan Almarhum Moes dan Pappie yang tetap bisa memberikan makan dengan nasi, sementara masyarakat banyak yang hanya mampu makan “nasi jagung”. Mungkin karena kami Keluarga Besar Mayoran tidak pernah mengeluh, bahkan selalu bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa. Disamping memang situasi dan kondisi waktu itu memang demikan adanya.

Menjelang akhir tahun 1945 itu memang sudah tersebar berita kekalahan Jepang di perang Pasific menyusul kemudian Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Maka berakhirlah penjajahan Jepang di Indonesia.

Sejarah singkat Eyang Kakung (continued II)

Keluarga Besar Mayoran

Dizaman Pendudukan Belanda

Dari akhir pendudukan Belanda sekitar tahun 1940 ketika Keluarga Besar Mayoran masih tinggal di Priobadan, dan Raden Panji Hatmowardoyo masih berpangkat Kapten, sampai dengan tahun 1942 sesudah pindah di Mangkubum Timur Surakarta dan beliau sudah berpangkat Groot Mayor, yang konon waktu itu setingkat Bupati, disaat itulah Keluarga Besar Mayoran berada dipuncak kejayaannya. Hal itu ditandai dengan dimilikinya sebuah kendaraan roda 4 Sedan merk Dodge tahun 1939, yang masih sangat sangat langka dizamannya.

Waktu itu anak-anak mendapatkan pendidikan dengan cukup baik berdasarkan adat Jawa dan juga etika Barat/Belanda. Kami memanggil Ibu dengan sebutan Moes dan memanggil Bapak dengan sebutan Pappie, sesuai dengan orang-orang Belanda waktu itu. Makan siang dan makan malam selalu bersama (adat Barat), tetapi dengan meja makan yang berbeda untuk orang tua dan untuk anak-anak (adat Jawa). Disaat makan seorang pembantu berdiri disamping untuk siap melayani, baik untuk mengambil nasi, lauk pauk maupun untuk tambah nasi (ala Barat). Tetapi disaat makan itu tidak boleh ada yang berbincang (adat Jawa) apalagi terdengan suara sendok atau garpu yang beradu dengan piring makan. Meja makan untuk orang tua yang berbentuk oval itu hingga kini masih ada lengkap dengan kursi makannya.

Adat Jawa lain yang masih kental yaitu untuk setiap anak mempunyai seorang emban (mirip dengan baby sitter, tetapi justru setelah anak berusia balita) yang bertugas mengurus seluruh kebutuhan anak. Putra Pertama diasuh oleh Yu Mirah, yang masih termasuk keluarga sendiri, yaitu putra dari kakak Raden Panji Hatmowardojo. Putra Kedua mbok Jem, Putra Ketiga mbok Cepluk, Putra Keempat mbok Karto, Putra Kelima mbok Binem, dan Putra Keenam mbok Rah. Sedang Putra Ketujuh yang lahir saat Jepang masuk Indonesia, diasuh oleh bude Mangoen, yang masih keluarga dari ayah tiri Raden Ayu Panji Hatmowardojo.

Disamping para emban itu masih ada sederet “abdi” (pembantu rumah tangga) yang telah berjasa, yaitu mbok Nek dan mbok Wongso sebagai juru masak, mbok Wanti urusan mencuci dan menyetelika baju, pak Soewardi sopir pribadi, pak Soediyo

urusan bersih-bersih rumah, dan masih ada beberapa pembantu laki-laki yang khusus untuk mengurus berpuluh burung peliharaan dan menyiram tanaman anggrek dan kaktus yang menjadi kegemaran (hobby) Moes dan Pappie (Ibu dan Bapak). Semua kejayaan Keluarga Besar Mayoran ini berakhir sejak Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu Raden Panji Hatmowardojo tidak lagi bekerja, bahkan pindah rumah setelah membangun rumah di Mangkubumen Barat V Nomor 3, sekarang dikenal sebagai jalan Kana 1 Nomor 9. Rumah tersebut dibangun diatas tanah peninggalan Raden Ronggo Atmosoepono, ayah tiri Raden Ayu Panji Hatmowardojo

Demikianlah kejayaan Keluarga Besar Mayoran memang telah berakhir seiring dengan berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, tetapi tentu masih meninggalkan banyak kenangan indah, terutama bagi para putro yang waktu itu sudah dapat merasakan dan menjadi ceritera terindah bagi para putro, wayah, buyut, canggah, dan seterusnya.

Selasa, 30 Desember 2008

Sejarah singkat Eyang Kakung (continued)

Raden Panji Hatmowardojo meniti karir dari mulai berpangkat Letnan Dua di Legioen Mangkoenegaran sampai berpangkat Groot Mayoor (Mayor) disaat Jepang masuk ke Indonesia. Selama itu Keluarga Besar Mayoran berpindah-pindah rumah dari Madyotaman tempat Raden Soeharno Sastrosawego dibesarkan, kemudian pindah ke Tumenggungan, Ketelan, Grogolan, Priombadan, Mangkubumen Timur, sampai terakhir menetap di Mangkubumen Barat Gang V Nomor 3, sekarang Jalan Kana 1 Nomor 9. Rumah yang menjadi terminal terakhir Keluarga Besar Mayoran ini dibangun diatas tanah seluas 1.500 M2 sebagai peninggalan Raden Ronggo Atmosoepono ayah tiri Raden Ajeng Marini Gondosoenario. Pembangunannya dilaksanakan dizaman pendudukan Jepang sekitar tahun 1942/1943, disaat semen dan bahan bangunan lainnya sangat langka. Tetapi sesuai perkembangan zaman, tahap demi tahap rumah tersebut telah direhabilitasi. Keluarga Besar Mayoran ini sebenarnya dikaruniai 9 (sembilan) putra, tetapi 2 (dua) putra diantaranya meninggal dunia. Yaitu Raden Ajeng Soetji Marmini putra ketiga, yang meninggal diusia 7 (tujuh) bulan, dan Raden Mas Seno putra kesembilan yang meninggal sesaat sebelum dilahirkan. Ketujuh putra putri Raden Panji Hatmowardojo yaitu :

1. Raden Ajeng Soetji Partini, panggilannya Soetji, lahir di Madyotaman Surakarta tanggal 8 Agustus 1928, wafat di Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya tanggal 3 Maret 2006 dalam usia 79 tahun, dan dimakamkan di makam Astana Oetara Nayu Surakarta. Pada tanggal 23 Mei 1948 menikah dengan Raden Koesmadi lahir pada tanggal 29 Januari 1923 putra pertama dari empat bersaudara keluarga Bp Soemowijoto, wafat tanggal 22 Januari 1980 dalam usia 57 tahun di Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya dan dimakamkan di Makam Astana Bibis Luhur Surakarta. Pasangan ini dikaruniai lima orang anak yaitu :

1.1 Prof.dr. Bambang Wirjatmadi, Ms, MCN, Phd. dikaruniai 3 anak ;

1.2 dr. Sutji Kuswarini, M. Kes. dikaruniai 2 anak 2 cucu ;

1.3 Ir. Kusumo Hariadi, dikaruniai 3 anak ;

1.4 Dra. Sutji Kustriati, Apt.

1.5 drg. Sitji Kushandajani, M.Kes. dikaruniai 1 anak & seorang anak angkat.

2. Raden Ajeng Soetji Hartini, panggilannya Tiniek, lahir di Tumenggungan Surakarta tanggal 26 Oktober 1928. Menikah pada tanggal 23 April 1950 dengan Raden Soetjipto lahir pada tanggal 12 April 1921 di Jogyakarta, putra kedua Dari dua bersaudara keluarga Bp. Soemadi, wafat pada tanggal 7 Maret 1986 Di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta, dan dikebumikan di Makam Tanah Kusir Jakarta. Pasangan ini dikaruniai 5 (lima anak, yaitu :

2.1 Suhardijanto

2.2 Harninto Budihartojo, dikaruniai 3 anak ;

2.3 Sugeng Trihartono, dikaruniai seorang anak ;

2.4 Lucky Sawitri, dikaruniai 3 anak ;

2.5 Bambang Andi Pratomo, dikaruniai 2 anak.


3. Raden Mas Soemarsono, panggilannya Sonny, lahir di Ketelan Surakarta tanggal 15 Januari 1932, wafat di Rumah Sakit Sarjito Jogyakarta tanggal 22 Agustus 2005, dan dimakamkan di makam keluarga di Jogyakarta. Menikah dengan Rr. Sabiqah putri kedua dari lima bersaudara keluarga Bp. Muridan Noto, lahir pada tanggal 17 September 1927, wafat pada tanggal 12 Oktober 1994 dan dimakamkan di makam keluarga di Yogyakarta. Pasangan ini dikaruniai seorang putri :

3.1 Ir. Laksmi Garnita Retnaningtyas, dikaruniai 3 anak.

4. Raden Ajeng Soetji Hardijati, panggilannya Atik, lahir di Grogolan Surakarta tanggal 31 Januari 1934, wafat di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 19 Mei 2000 diusia 66 tahun, dimakamkan di Makam Jeruk Purut Jakarta, dan setelah 1000 hari dipindahkan ke Makam Astana Oetara Nayu Surakarta. Menikah dengan R. Soeprapto lahir pada tanggal 27 Agustus 1930 di Surakarta, putra kedua dari lima bersaudara keluarga Bp. Mangoensardjito. Pasangan ini dikaruniai seorang putra, yaitu :

4.1 Pudiarto Arisantoso, dikaruniai 2 anak.


5. Raden Mas Soehardijatmo Harri, panggilannya semula Jakmo, kemudian diganti Harri, lahir di Grogolan Surakarta tanggal 18 September 1935. Menikah dengan Shizuka Kakudo di Jepang (ketika belajar di Jepang, kemudian berpisah karena tidak bersedia ikut ke Indonesia). Kemudian menikah kembali pada tanggal 25 Desember 1964 dengan Tien Kartini lahir tanggal 21 April 1940, putri pertama dari tujuh bersaudara keluarga Bp. Amat Soeryatmadja. Kemudian berpisah setelah mempunyai tiga orang putra, yaitu :

5.1 dr. Oktavianto Herlambang, Sp. M. dikaruniai 2 anak ;

5.2 Letkol. Arm. Bambang Setiawan, S. Ip. Menikah dengan N. Fatimah, Dikaruniai 2 anak ; ( Muhammad Rafi, lahir 6 maret 2006. Muhammad Harits Satrianegara, lahir 21 Januari 2008 )

5.3 Andri Budiman, S. Cmp. Dikaruniai seorang anak.

Kemudian menikah kembali pada tahun 1974 dengan Yennie Djuangsih lahir pada Tanggal 17 Agustus 1946, putri kedua dari sembilan bersaudara keluarga Bp. Adang Djoehro, kemudian berpisah kembali setelah dikaruniai dua putri, yaitu :

5.4 Agustina Haryani

5.5 Novianti Prisanita Devi, dikaruniai seorang anak.


Terakhir menikah kembali tanggal 18 April 2007 dengan Sri Lestari lahir pada Tanggal 26 Desember 1974, putri pertama dari empat bersaudara keluarga Bp. Mantowijono


6. Raden Ajeng Soetji Hartati, panggilannya Tatik, lahir di Priobadan Surakarta tanggal 1 April 1940, wafat di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo tanggal 27 Pebruari 2006 Jakarta, dan dimakamkan di Makam Astana Oetara Nayu Surakarta. Menikah dengan R. Harinto lahir tanggal 7 Agustus 1938 putra kedua dari tiga bersaudara keluarga Bp. Siswosoemanto. Pernikahan ini dikaruniai tiga putra yaitu :

6.1 Erwanto Wibisono, SE dikaruniai seorang anak ;

6.2 Ir. Doddy Kartono Utomo, dikaruniai 3 anak ;

6.3 Ruddy Setiawan, SE, dikaruniai 3 anak.


7. Raden Ajeng Sri Hastoeti, panggilannya Toetiek, lahir pada tanggal 27 Oktober 1941 di Mangkubumen Timur Surakarta, menikah tanggal 24 Maret 1968 dengan Zoelkarnain lahir pada tanggal 20 Juli 1940, putra pertama dari tiga bersaudara Keluarga Bp. Muhammad Noer. Pernikahan ini dikaruniai dua putri yaitu :

7.1 Ir. Suci Tenri Kunswaraswati, dikaruniai 2 anak ;

7.2 Ir. Suci Widyaningrum Sulistawati, M. T.


Sampai dengan akhir tahun 2007 dari 7 putra putri Keluarga Besar Mayoran 4 orang diantaranya telah wafat yaitu :

1. Raden Mas Soemarsono putra ketiga yang wafat pada tanggal 12 Oktober 1994 dalam usia 73 tahun ;

2. Raden Ayu Soetji Hardiyati Soeprapto putri keempat yang wafat pada tanggal 19 Mei 2000 dalam usia 66 tahun ;

3. Raden Ayu Soetji Hartati Harinto putri keenam yang wafat pada tanggal 27 Februari 2006 dalam usia 66 tahun ;

4. Raden Ayu Soetji Partini Koesmadi putri pertama yang wafat pada tanggsl 3 Maret 2006 dalam usia 79 tahun ;

Disamping itu seorang wayah Agustina Haryani dari putra kelima wafat pada tanggal 7 Oktober 1998 dalam usia 22 tahun, dan seorang buyut Pundi Mutiaraku dari putri kedua wafat pada tahun 2006.

Demikianlah sampai dengan bulan April 2008 (setelah buku ini direvisi) jumlah anggota Keluarga Besar Mayoran menjadi sebanyak 72 orang yang terdiri dari 7 orang putra putri, 22 orang wayah, 39 orang buyut, dan 2 orang canggah. Anggota Keluarga Mayoran ini seluruhnya tinggal di pulau Jawa, kecuali 3 orang cucu yaitu Sugeng Trihartono dari putri kedua yang tinggal di Australia, Andri Budiman dari putra kelima yang tinggal di Jepang, dan Oktavianto Herlambang juga dari putra kelima yang tinggal di Pakanbaru, Sumatra.

Para wayah beserta keluarganya dari putri pertama seluruhnya tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Dan para wayah beserta keluarganya dari putri kedua, keempat, keenam, dan ketujuh seluruhnya tinggal di Jakarta, termasuk dua wayah dari putra kelima dan dua buyut dari putri pertama. Sedang seorang wayah beserta keluarganya dari putra ketiga tinggal di Yogyakarta. Penulis/penyusun buku Keluarga Besar Mayoran sendiri tinggal di Bandung, Jawa Barat.

Selanjutnya penulis/penyusun Buku Keluarga Besar Mayoran sangat mengharapkan agar seluruh anggota keluarga tetap menjaga tali kekeluargaan demi kelangsungan dan keutuhan Keluarga Besar Mayoran.