Keluarga Besar Mayoran
Dizaman Pendudukan Belanda
Dari akhir pendudukan Belanda sekitar tahun 1940 ketika Keluarga Besar Mayoran masih tinggal di Priobadan, dan Raden Panji Hatmowardoyo masih berpangkat Kapten, sampai dengan tahun 1942 sesudah pindah di Mangkubum Timur Surakarta dan beliau sudah berpangkat Groot Mayor, yang konon waktu itu setingkat Bupati, disaat itulah Keluarga Besar Mayoran berada dipuncak kejayaannya. Hal itu ditandai dengan dimilikinya sebuah kendaraan roda 4 Sedan merk Dodge tahun 1939, yang masih sangat sangat langka dizamannya.
Waktu itu anak-anak mendapatkan pendidikan dengan cukup baik berdasarkan adat Jawa dan juga etika Barat/Belanda. Kami memanggil Ibu dengan sebutan Moes dan memanggil Bapak dengan sebutan Pappie, sesuai dengan orang-orang Belanda waktu itu. Makan siang dan makan malam selalu bersama (adat Barat), tetapi dengan meja makan yang berbeda untuk orang tua dan untuk anak-anak (adat Jawa). Disaat makan seorang pembantu berdiri disamping untuk siap melayani, baik untuk mengambil nasi, lauk pauk maupun untuk tambah nasi (ala Barat). Tetapi disaat makan itu tidak boleh ada yang berbincang (adat Jawa) apalagi terdengan suara sendok atau garpu yang beradu dengan piring makan. Meja makan untuk orang tua yang berbentuk oval itu hingga kini masih ada lengkap dengan kursi makannya.
Adat Jawa lain yang masih kental yaitu untuk setiap anak mempunyai seorang emban (mirip dengan baby sitter, tetapi justru setelah anak berusia balita) yang bertugas mengurus seluruh kebutuhan anak. Putra Pertama diasuh oleh Yu Mirah, yang masih termasuk keluarga sendiri, yaitu putra dari kakak Raden Panji Hatmowardojo. Putra Kedua mbok Jem, Putra Ketiga mbok Cepluk, Putra Keempat mbok Karto, Putra Kelima mbok Binem, dan Putra Keenam mbok Rah. Sedang Putra Ketujuh yang lahir saat Jepang masuk Indonesia, diasuh oleh bude Mangoen, yang masih keluarga dari ayah tiri Raden Ayu Panji Hatmowardojo.
Disamping para emban itu masih ada sederet “abdi” (pembantu rumah tangga) yang telah berjasa, yaitu mbok Nek dan mbok Wongso sebagai juru masak, mbok Wanti urusan mencuci dan menyetelika baju, pak Soewardi sopir pribadi, pak Soediyo
urusan bersih-bersih rumah, dan masih ada beberapa pembantu laki-laki yang khusus untuk mengurus berpuluh burung peliharaan dan menyiram tanaman anggrek dan kaktus yang menjadi kegemaran (hobby) Moes dan Pappie (Ibu dan Bapak). Semua kejayaan Keluarga Besar Mayoran ini berakhir sejak Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu Raden Panji Hatmowardojo tidak lagi bekerja, bahkan pindah rumah setelah membangun rumah di Mangkubumen Barat V Nomor 3, sekarang dikenal sebagai jalan Kana 1 Nomor 9. Rumah tersebut dibangun diatas tanah peninggalan Raden Ronggo Atmosoepono, ayah tiri Raden Ayu Panji Hatmowardojo
Demikianlah kejayaan Keluarga Besar Mayoran memang telah berakhir seiring dengan berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, tetapi tentu masih meninggalkan banyak kenangan indah, terutama bagi para putro yang waktu itu sudah dapat merasakan dan menjadi ceritera terindah bagi para putro, wayah, buyut, canggah, dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar